Batik Tulis

Batik Tulis
Size : 34*13*24

Sabtu, 07 Mei 2011

Batik Indonesia vs Batik China

Jika Anda disuruh memilih untuk membeli baju batik, kira-kira Batik seperti apa yang akan Anda pilih? Batik Indonesia ataukah Batik Cina dengan harga lebih murah? Tampaknya memang tidak mudah, jika kita sekedar menggembar-gemborkan Slogan: Cintai Produk Dalam Negeri, tapi tanpa ada kebijakan-kebijakan yang bisa menlindungi. Dengan kebijakan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) ternyata tidak hanya sekedar gertakan sambal belaka, karena efek kebijakan yang mau tidak mau diterima negara-negara ASEAN ini terbukti membuat sebagian pengrajin Batik di beberapa daerah mengalami keresahan.

Di Pekalongan misalnya, pada Pemantauan Media Indonesia di Pekalongan akhir bulan Januari 2010 lalu, para perajin dan pedagang produk tekstil Pekalongan, seperti batik (bahan baju batik/ kain batik), sarung palekat, jins, resah akibat menurunnya secara dratis pendapatan mereka. Ini terjadi tidak hanya dipicu masuknya produk tekstil dari luar, seperti Cina, India, Pakistan, tetapi juga akibat dari cuaca yang memburuk yaitu hujan. Di pasar grosir produk tekstil, seperti Sentono, Gramer, Wiradesa, dan Banjarsari, juga terlihat lengang sejak sepekan ini. Akibatnya, omzet penjualan juga menurun dratis hingga mencapai 200 persen dari kondisi normal. Demikian pula di sentra perajin batik dan sarung pelekat, seperti Kauman, Medono, Bendan, Pesindon, Kedungwuni, Pekajangan, juga tak terlihat lagi ratusan lembar kain batik yang biasanya dijemur di halaman rumah atau tanah lapang. "Omzet kami merosot dratis. Jika sebelumnya pada kondisi normal mampu menjual hingga 120 kodi, sekarang ini paling 30 kodi," kata Fatimah, 35, seorang pedagang produk tekstil di pasar Grosir Sentono, Kota Pekalongan.

Sementara di Jogjakarta, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY Jadin Jamaludin menyebutkan, "Sekitar 90 persen industri yang ada di Yogyakarta adalah UKM, dan sektor tersebut sangat rentan terhadap persaingan bebas apabila tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Apalagi sekarang ini, nilai ekspor DIY juga turun sekitar 20 persen". Menurut dia, industri yang sudah mapan seperti industri besar memang tidak akan mengalami tekanan kuat akibat kebijakan ACFTA yang mulai diberlakukan awal tahun, tetapi tekanan akan lebih banyak dialami oleh industri kecil yang menyerap sekitar 900.000 pekerja tersebut. "Bisa-bisa, pelaku UKM yang tidak dapat bertahan justru akan berbalik untuk menjadi pedagang yang memasarkan barang-barang produksi China karena memang harganya lebih murah," katanya.
Ia mencontohkan, pangsa pasar yang dinikmati oleh industri dalam negeri khususnya tekstil adalah 22 persen, sedangkan sisanya adalah produk impor. "Jika pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa, pangsa pasar tersebut bisa-bisa semakin turun ditambah daya beli masyarakat yang saat ini kurang, bahkan bisa turun tajam," katanya. Keunikan dari produk Yogyakarta, menurut Jadin, tidak menjamin bahwa negara lain tidak akan menirunya karena saat ini China telah "membajak" desainer-desainer dari Indonesia untuk mendesain produk bernuansa Indonesia, misalnya batik. "Memang tidak sepenuhnya sama dengan batik buatan Yogyakarta misalnya, tetapi produk yang dihasilkan sudah sangat menyerupai batik dengan harga yang murah. Masyarakat menengah ke bawah tentu memilihnya," katanya.

Nah, bagaimana dengan Anda? Selamatkan Batik Indonesia dengan lebih jeli membeli produk-produk Batik Indonesia? Ato memilih Batik China dengan harga yang lebih murah?

Senin, 02 Mei 2011

Batik produk indonesia

Batik adalah keduanya seni dan kerajinan, yang menjadi semakin populer dan terkenal dalam Barat sebagai sebuah media yang sangat kreatif. Seni menghias kain dengan cara ini, menggunakan lilin dan pewarna, telah dipraktikkan selama berabad-abad. Di Jawa, Indonesia, batik adalah bagian tradisi kuno, dan beberapa kain batik terbaik itu di dunia masih membuat di sana. Batik kata berasal dari bahasa Jawa tik dan bermaksud untuk titik.

Untuk membuat selembar batik, daerah-daerah terpilih kain itu ditutup oleh penyikatan atau menggambar lilin panas atas mereka, dan kain itu kemudian dicelupkan. Bagian-bagian tercakup dalam lilin menolak celup dan tetap warna asli. Proses ini bertambah besar dan pencelupan dapat diulangi untuk menciptakan lebih desain-desain rumit dan warna-warni. Setelah pencelupan terakhir lilin dihilangkan dan kain itu siap sedia untuk berpakaian atau menunjukkan.

Batik kontemporer, ketika berhutang banyak terhadap masa lampau, nyata sekali berbeda dengan semakin gaya-gaya tradisional dan formal. Misalnya, seniman itu bisa menggunakan etsa, mengeluarkan pencelupan, stensil-stensil, alat lain untuk bertambah besar dan pencelupan, menjadi resep-resep berbeda dengan menolak nilai-nilai dan kerja dengan sutra, wol katun, kulit, kertas atau bahkan kayu dan keramik.

Batik menurut sejarah paling ekspresif dan halus menolak metode-metode. Selalu melebar kisaran teknik-teknik tersedia menawarkan seniman itu peluang untuk mengeksplorasi proses unik dalam satu cara menggairahkan dan fleksibel.